96 Terlapor Kasus Kartel Pinjol Tolak LDP KPPU: Ujian Berat Industri Fintech Indonesia

 




96 Terlapor Kasus Kartel Pinjol Tolak LDP KPPU: Ujian Berat Industri Fintech Indonesia

Jakarta, September 2025 – Industri pinjaman online (pinjol) di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah mengusut perkara besar terkait dugaan kartel layanan pinjaman online dengan melibatkan 96 terlapor. Dalam sidang lanjutan di Jakarta pada Kamis (11/9/2025), mayoritas terlapor secara tegas menolak Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) yang disusun investigator KPPU.

Kasus ini tercatat dengan Nomor Perkara 05/KPPU-I/2025, dan menjadi salah satu sidang persaingan usaha paling kompleks sepanjang sejarah KPPU. Dugaan pelanggaran berkaitan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya mengenai penetapan harga atau tarif yang seragam di antara pelaku usaha.


Kronologi Sidang KPPU dan Posisi Para Pihak

Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Rhido Jusmadi bersama anggota majelis lainnya. Agenda utama kali ini adalah penyampaian tanggapan terlapor terhadap LDP yang disampaikan investigator.

  • Terlapor: Mayoritas dari 96 entitas menolak LDP, dengan alasan bahwa laporan tersebut dianggap tidak akurat dan tidak berdasar. Mereka menyerahkan dokumen, surat, hingga daftar saksi dan ahli sebagai alat bukti pembelaan.
  • Investigator KPPU: Tetap berpegang pada temuan awal bahwa terdapat pola keseragaman bunga, biaya layanan, hingga mekanisme penagihan yang mengindikasikan adanya koordinasi atau perjanjian antar pelaku usaha.

Perbedaan posisi ini membuat proses persidangan diperkirakan akan berlangsung panjang, karena KPPU harus membuktikan adanya unsur perjanjian atau koordinasi antar penyelenggara pinjol, bukan hanya kesamaan kebijakan yang bersifat kebetulan atau mengikuti pasar.


Landasan Hukum: Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999

Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur larangan perjanjian antar pelaku usaha untuk menetapkan harga barang atau jasa. Dalam konteks pinjol, dugaan pelanggaran bisa mencakup:

  1. Kesepakatan bunga pinjaman sehingga konsumen tidak bisa mendapatkan alternatif bunga lebih rendah.
  2. Penyeragaman biaya layanan seperti biaya administrasi, biaya keterlambatan, atau potongan tambahan.
  3. Koordinasi sistem penagihan yang cenderung sama di semua platform, termasuk ancaman dan pola komunikasi dengan nasabah.

Jika terbukti, pelaku usaha dapat dikenakan sanksi denda hingga 50% dari keuntungan bersih atau 10% dari total penjualan sebagaimana diatur dalam peraturan KPPU.


Mengapa Kartel Digital Lebih Sulit Dibuktikan?

Berbeda dengan kartel konvensional, kartel di dunia digital lebih sulit diungkap. Alasannya:

  • Algoritma dan sistem digital bisa membuat harga atau bunga terlihat seragam, meski tanpa perjanjian tertulis.
  • Data bersifat tertutup sehingga sulit membuktikan adanya komunikasi langsung antar perusahaan.
  • Efek jaringan: platform besar cenderung meniru strategi satu sama lain untuk mempertahankan daya saing, sehingga pola harga tampak seragam.

Karena itu, KPPU membutuhkan pendekatan baru, termasuk forensik digital, audit algoritma, serta kolaborasi dengan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).


Risiko bagi Industri Fintech

Industri fintech lending di Indonesia sejatinya berkembang pesat. OJK mencatat ada ratusan penyelenggara pinjol resmi dengan nilai penyaluran pinjaman mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Namun, kasus dugaan kartel ini menimbulkan beberapa risiko serius:

  1. Krisis kepercayaan publik: masyarakat bisa semakin ragu memanfaatkan layanan pinjol, menganggap semua perusahaan “main harga” di belakang layar.
  2. Tekanan regulasi lebih ketat: pemerintah mungkin memberlakukan batas bunga lebih rendah atau mekanisme penagihan yang lebih keras, sehingga menekan margin usaha.
  3. Dampak pada investasi: investor asing dan lokal bisa menunda ekspansi karena khawatir dengan iklim persaingan usaha yang tidak sehat.
  4. Inovasi terhambat: jika semua pemain besar sepakat pada bunga tertentu, maka startup fintech kecil akan kesulitan bersaing.

Konsumen Jadi Korban Terbesar

Dalam kasus dugaan kartel pinjol ini, konsumen jelas menjadi pihak paling dirugikan. Dampak yang mereka rasakan antara lain:

  • Bunga pinjaman tinggi yang cenderung seragam di berbagai platform.
  • Tidak adanya pilihan alternatif yang lebih murah atau inovatif.
  • Beban psikologis penagihan karena pola kolektor lapangan atau pesan intimidatif yang mirip antar penyelenggara.
  • Lingkaran utang akibat biaya tambahan yang hampir sama di semua aplikasi.

Padahal, salah satu tujuan utama pinjol adalah memberi akses keuangan yang cepat, murah, dan inklusif bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke bank.


Pandangan Akademisi dan Investor

Beberapa pakar hukum persaingan usaha menilai bahwa kasus ini akan menjadi preseden penting bagi pengawasan ekonomi digital di Indonesia.

  • Akademisi hukum menekankan pentingnya membuktikan adanya “meeting of minds” atau kesepakatan antar pelaku, bukan hanya kesamaan perilaku pasar.
  • Ekonom digital melihat kasus ini bisa memperlambat pertumbuhan fintech, tetapi di sisi lain bisa memaksa industri lebih transparan.
  • Investor khawatir pada risiko reputasi, karena sektor fintech Indonesia selama ini dipromosikan sebagai salah satu pasar paling potensial di Asia Tenggara.

Analisis: Ujian Berat bagi KPPU

Kasus 96 terlapor dugaan kartel pinjol menjadi ujian besar bagi KPPU dalam tiga aspek utama:

  1. Teknis pembuktian: KPPU harus mampu mengumpulkan bukti elektronik, pola algoritma, hingga komunikasi antar pelaku usaha.
  2. Koordinasi lintas lembaga: kasus ini menyentuh ranah pengawasan OJK dan BI, sehingga perlu pendekatan kolaboratif.
  3. Pesan hukum: putusan yang dihasilkan akan menjadi tolok ukur bagi industri digital lain, seperti e-commerce, ride-hailing, dan marketplace.

Jika KPPU berhasil membuktikan adanya kartel, hal ini akan menjadi yurisprudensi monumental dalam pengawasan bisnis digital di Indonesia.


Solusi dan Rekomendasi

Agar kasus ini bisa membawa perbaikan, beberapa langkah strategis bisa ditempuh:

  • Penguatan regulasi bunga pinjol: OJK bisa menetapkan batas bunga dan biaya layanan yang lebih jelas agar tidak terjadi keseragaman tidak sehat.
  • Audit algoritma secara berkala: regulator dapat meminta fintech membuka sistem pricing mereka untuk memastikan tidak ada kolusi tersembunyi.
  • Peningkatan literasi keuangan: masyarakat perlu diedukasi agar lebih berhati-hati menggunakan pinjol, termasuk membandingkan bunga, biaya, dan syarat pinjaman.
  • Penegakan hukum tegas: jika terbukti ada kartel, KPPU perlu memberikan sanksi berat agar menjadi efek jera.

Kesimpulan

Kasus 96 terlapor dugaan kartel pinjol di KPPU bukan hanya soal hukum persaingan usaha, melainkan juga menyangkut masa depan industri fintech Indonesia.

Jika terbukti, praktik ini akan menjadi tamparan keras bahwa sebagian pelaku fintech justru menjauh dari semangat inklusi keuangan. Namun, jika KPPU gagal membuktikan, kasus ini bisa menjadi peringatan bahwa regulasi persaingan di era digital harus diperkuat.

Yang jelas, konsumen tidak boleh lagi menjadi korban bunga tinggi dan penagihan seragam akibat dugaan praktik kartel. Transparansi, inovasi, dan persaingan sehat harus dikembalikan sebagai roh utama industri pinjaman online di Indonesia.


Kata kunci SEO:

kartel pinjol KPPU, 96 terlapor pinjol, kasus kartel fintech Indonesia, LDP KPPU pinjaman online, UU No 5 Tahun 1999 pinjol