Wacana “1 Orang 1 Akun Medsos”: Solusi atau Ancaman Demokrasi Digital?

 


Wacana “1 Orang 1 Akun Medsos”: Solusi atau Ancaman Demokrasi Digital?

Isu pembatasan kepemilikan media sosial kembali mencuat di Senayan. Legislator dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, menyatakan sepakat dengan usulan Fraksi Gerindra agar setiap warga hanya boleh memiliki satu akun media sosial dan satu nomor telepon. Wacana ini, menurut mereka, bisa menekan penyebaran hoaks dan mencegah akun anonim atau buzzer liar.

Namun, ide ini justru memunculkan banyak pertanyaan: apakah benar hoaks bisa hilang dengan cara membatasi jumlah akun? Ataukah justru ada risiko lain yang lebih besar—mulai dari pembatasan kebebasan hingga potensi pengawasan berlebihan?


Membaca Niat Baik di Balik Usulan

Tidak bisa dipungkiri, dunia digital kita memang penuh dengan informasi palsu, fitnah politik, hingga ujaran kebencian. Niat awal untuk menertibkan ruang digital patut diapresiasi. Dengan aturan “1 orang 1 akun”, diharapkan masyarakat lebih berhati-hati dalam bermedsos karena identitasnya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Tapi, niat baik saja tidak cukup. Setiap kebijakan publik harus dipertimbangkan dampak jangka panjangnya.


Catatan Kritis: Bahaya Pembatasan

  1. Kebebasan berekspresi bisa terancam
    Banyak orang menggunakan lebih dari satu akun untuk tujuan yang sah: akun kerja, komunitas, hingga privasi pribadi. Membatasi hanya satu akun sama saja dengan mereduksi ruang berekspresi warga.
  2. Risiko pengawasan berlebih
    Jika setiap akun wajib terhubung ke identitas tunggal, negara otomatis memegang kendali penuh atas data digital warganya. Hal ini bisa memicu kekhawatiran soal privasi dan potensi penyalahgunaan untuk membungkam kritik.
  3. Masalah bukan di jumlah akun, tapi literasi
    Satu orang bisa punya satu akun saja, tapi jika tetap mudah termakan isu, hoaks akan terus menyebar. Artinya, akar persoalan ada pada literasi digital, bukan semata jumlah akun.

Klaim Swiss Perlu Diverifikasi

Disebut-sebut Swiss telah menerapkan aturan “1 orang 1 akun medsos dan nomor telepon”. Faktanya, regulasi di negara maju lebih banyak berfokus pada penegakan hukum dan perlindungan data, bukan pembatasan teknis seperti itu. Maka, penting untuk berhati-hati agar publik tidak termakan klaim tanpa bukti jelas.


Jalan Tengah yang Lebih Solutif

Alih-alih membatasi jumlah akun, ada beberapa langkah yang lebih realistis dan demokratis:

  • Meningkatkan literasi digital di sekolah, komunitas, dan ruang publik.
  • Menindak tegas penyebar hoaks dengan dasar hukum yang jelas.
  • Mendorong platform media sosial memperbaiki algoritma dan sistem verifikasi tanpa mengorbankan privasi.
  • Mengembangkan identitas digital nasional yang aman, transparan, dan akuntabel.

Refleksi untuk Gresik dan Indonesia

Gresik sebagai kota industri yang terus tumbuh, juga menghadapi arus deras informasi digital. Kita bisa belajar bahwa menjaga ruang digital bukan soal membatasi kebebasan, melainkan membangun budaya kritis, literasi, dan tanggung jawab bersama.

Ruang digital yang sehat hanya bisa terwujud bila masyarakat melek informasi, pemerintah transparan, dan platform media sosial turut serta memperbaiki ekosistemnya.


🔎 Kesimpulan: Wacana “1 orang 1 akun medsos” memang tampak praktis, tetapi terlalu banyak risiko yang bisa membahayakan demokrasi digital. Jalan yang lebih bijak adalah memberdayakan masyarakat dengan literasi digital, bukan membatasi mereka dengan regulasi kaku.