Wacana “1 Orang 1 Akun Medsos”: Solusi atau Ancaman Demokrasi Digital?
Wacana “1 Orang 1 Akun Medsos”:
Solusi atau Ancaman Demokrasi Digital?
Isu pembatasan kepemilikan media sosial kembali mencuat di
Senayan. Legislator dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, menyatakan sepakat
dengan usulan Fraksi Gerindra agar setiap warga hanya boleh memiliki satu akun
media sosial dan satu nomor telepon. Wacana ini, menurut mereka, bisa menekan
penyebaran hoaks dan mencegah akun anonim atau buzzer liar.
Namun, ide ini justru memunculkan banyak pertanyaan: apakah
benar hoaks bisa hilang dengan cara membatasi jumlah akun? Ataukah justru ada
risiko lain yang lebih besar—mulai dari pembatasan kebebasan hingga potensi
pengawasan berlebihan?
Membaca Niat Baik di
Balik Usulan
Tidak bisa dipungkiri, dunia digital kita memang penuh
dengan informasi palsu, fitnah politik, hingga ujaran kebencian. Niat awal
untuk menertibkan ruang digital patut diapresiasi. Dengan aturan “1 orang 1
akun”, diharapkan masyarakat lebih berhati-hati dalam bermedsos karena
identitasnya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Tapi, niat baik saja tidak cukup. Setiap kebijakan publik
harus dipertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Catatan Kritis:
Bahaya Pembatasan
- Kebebasan berekspresi bisa terancam
Banyak orang menggunakan lebih dari satu akun untuk tujuan yang sah: akun kerja, komunitas, hingga privasi pribadi. Membatasi hanya satu akun sama saja dengan mereduksi ruang berekspresi warga. - Risiko pengawasan berlebih
Jika setiap akun wajib terhubung ke identitas tunggal, negara otomatis memegang kendali penuh atas data digital warganya. Hal ini bisa memicu kekhawatiran soal privasi dan potensi penyalahgunaan untuk membungkam kritik. - Masalah bukan di jumlah akun, tapi
literasi
Satu orang bisa punya satu akun saja, tapi jika tetap mudah termakan isu, hoaks akan terus menyebar. Artinya, akar persoalan ada pada literasi digital, bukan semata jumlah akun.
Klaim Swiss Perlu
Diverifikasi
Disebut-sebut Swiss telah menerapkan aturan “1 orang 1 akun
medsos dan nomor telepon”. Faktanya, regulasi di negara maju lebih banyak
berfokus pada penegakan hukum dan perlindungan data, bukan pembatasan teknis
seperti itu. Maka, penting untuk berhati-hati agar publik tidak termakan klaim
tanpa bukti jelas.
Jalan Tengah yang
Lebih Solutif
Alih-alih membatasi jumlah akun, ada beberapa langkah yang
lebih realistis dan demokratis:
- Meningkatkan literasi digital di
sekolah, komunitas, dan ruang publik.
- Menindak tegas penyebar hoaks
dengan dasar hukum yang jelas.
- Mendorong platform media sosial
memperbaiki algoritma dan sistem verifikasi tanpa mengorbankan privasi.
- Mengembangkan identitas digital
nasional yang aman, transparan, dan akuntabel.
Refleksi untuk Gresik
dan Indonesia
Gresik sebagai kota industri yang terus tumbuh, juga
menghadapi arus deras informasi digital. Kita bisa belajar bahwa menjaga ruang
digital bukan soal membatasi kebebasan, melainkan membangun budaya kritis, literasi, dan tanggung jawab bersama.
Ruang digital yang sehat hanya bisa terwujud bila masyarakat
melek informasi, pemerintah transparan, dan platform media sosial turut serta
memperbaiki ekosistemnya.
🔎 Kesimpulan: Wacana “1 orang 1 akun medsos” memang tampak praktis,
tetapi terlalu banyak risiko yang bisa membahayakan demokrasi digital. Jalan
yang lebih bijak adalah memberdayakan
masyarakat dengan literasi digital, bukan membatasi mereka dengan regulasi kaku.