Refleksi Kasus Parkir Liar Surabaya untuk Gresik: Belajar Menata Kota Lebih Tertib
Refleksi Kasus Parkir
Liar Surabaya untuk Gresik: Belajar Menata Kota Lebih Tertib
Fenomena parkir liar di Taman Apsari Surabaya, di mana warga
diminta Rp5.000 tanpa karcis resmi, seharusnya jadi cermin bersama bagi kita di Gresik. Masalah seperti ini bukan hanya
milik Surabaya, melainkan ancaman yang bisa muncul di kota atau kabupaten mana
pun, termasuk Gresik.
Mengapa Harus Jadi
Perhatian?
- Kebocoran PAD: Uang parkir yang
seharusnya masuk kas daerah bisa hilang karena ulah oknum. Gresik juga
butuh PAD untuk membangun infrastruktur, fasilitas umum, hingga program
sosial.
- Kenyamanan dan citra kota: Jika
praktik liar dibiarkan, pengunjung merasa dirugikan. Gresik yang sedang
tumbuh sebagai kota industri dan wisata bisa kehilangan daya tariknya.
- Budaya ketertiban: Sekecil apa
pun, pungutan liar adalah penyakit sosial yang bisa merusak keadilan dan
ketertiban.
Solusi untuk Gresik
- Pengawasan Dishub dan Satpol PP
harus diperketat di titik-titik rawan parkir liar, terutama di pusat
keramaian seperti Alun-Alun, WEP, dan kawasan wisata religi.
- Digitalisasi parkir dengan sistem
non-tunai bisa jadi solusi jangka panjang, mengurangi celah pungli dan
meningkatkan transparansi.
- Edukasi warga agar berani menolak
parkir liar, menuntut karcis resmi, dan melapor jika ada penyimpangan.
- Kolaborasi warga dan pemerintah:
Tanpa dukungan masyarakat, penertiban hanya akan jadi rutinitas sementara.
Momentum untuk Gresik
Kejadian di Surabaya harus menjadi peringatan dini. Gresik sedang tumbuh pesat, jangan sampai diiringi
dengan praktik-praktik liar yang merugikan. Kota yang maju adalah kota yang tertib, adil, dan transparan.
Saatnya Gresik belajar dari pengalaman tetangga: jangan biarkan parkir liar tumbuh menjadi budaya. Kita bisa mulai dengan langkah kecil: berani menolak parkir tanpa karcis, berani bersuara untuk ketertiban.