Ringkasan Program Sekolah Rakyat ala Presiden Prabowo Subianto



Ringkasan Program Sekolah Rakyat ala Presiden Prabowo Subianto

Berdasarkan pernyataan terbaru Presiden Prabowo Subianto pada 11 September 2025 saat meninjau aktivitas kegiatan belajar mengajar di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Margaguna, Jakarta Selatan, seperti disiarkan melalui YouTube Sekretariat Presiden, program Sekolah Rakyat terus menunjukkan kemajuan pesat sebagai upaya pemerintah untuk menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Program ini, yang diluncurkan pertama kali pada Juli 2025, merupakan inisiatif sekolah berasrama yang menargetkan siswa dari latar belakang ekonomi rendah, dengan fasilitas lengkap term | asrama, sarana olahraga, ruang kelas modern, serta integrasi teknologi seperti smart digital screen untuk pembelajaran jarak jauh.

Progres Saat Ini dan Target Jangka Pendek

  • Status Terkini: Hingga 14 September 2025, sudah ada 100 Sekolah Rakyat yang beroperasi di berbagai daerah, termasuk di Jawa Tengah seperti Magelang dan Antasena. Program ini telah menjangkau lebih dari 9.700 siswa awal tahun ini, dengan 1.500 guru yang telah direkrut dan ditempatkan.
  • Target September 2025: Ditargetkan bertambah menjadi 165 sekolah pada akhir bulan ini, dengan kapasitas total 641 rombongan belajar atau sekitar 15.895 siswa. Presiden Prabowo berencana meresmikan secara resmi dan serentak pada Oktober 2025.

Rencana Perluasan Jangka Panjang

Presiden menargetkan penambahan bertahap untuk mencapai total 500 Sekolah Rakyat dalam 5 tahun ke depan, sebagai bagian dari Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) untuk generasi emas 2045. “Tahun depan 100, lalu tiap tahun tambah 100 lagi,” ujar Prabowo saat meninjau SRMA 10 Jakarta Selatan pada Kamis (11/9).

  • Tahun 2026: Tambahan 100 sekolah.
  • Setiap tahun berikutnya: Tambahan 100 sekolah lagi.

Tahun

Target Kumulatif

Penambahan

2025 (September)

165

+65 dari 100 saat ini

2026

265

+100

2027

365

+100

2028

465

+100

2029

500

+35

Prioritas Sasaran

  • Fokus Awal: Daerah dengan kondisi ekonomi paling tertinggal (desil 1 dan 2), untuk memastikan akses pendidikan bagi anak-anak yang berisiko putus sekolah, sekaligus membangun karakter, kedisiplinan, dan pendidikan keagamaan.
  • Perluasan Masa Depan: Menyasar kelompok masyarakat ekonomi menengah bawah (desil 3 hingga 5), dengan tujuan "supaya semua anak-anak kita harus mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang bagus."

Program ini melibatkan kolaborasi Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, dan pemerintah daerah, dengan penekanan pada kualitas pengajaran dan kenyamanan siswa. Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi atas kecepatan pelaksanaan, yang melebihi ekspektasi awal, serta menekankan ini sebagai investasi untuk memutus rantai kemiskinan.

Anggaran Program Sekolah Rakyat

Anggaran program ini bersumber dari APBN dan tersebar di berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Keuangan, Sosial, dan Pendidikan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, alokasi untuk tahun anggaran 2025 mencapai Rp7 triliun, yang digunakan untuk pembangunan awal 165 sekolah, termasuk infrastruktur, rekrutmen guru, dan operasional dasar. Untuk 2026, anggaran diproyeksikan meningkat menjadi Rp24,9 triliun sebagai bagian dari total alokasi pendidikan Rp757,8 triliun dalam RAPBN 2026, dengan fokus pada penambahan 100 sekolah baru dan ekspansi fasilitas. Secara keseluruhan, pembangunan 500 sekolah dalam lima tahun diperkirakan membutuhkan ratusan triliun rupiah, meskipun pemerintah menargetkan efisiensi melalui kolaborasi dengan swasta dan CSR untuk mengurangi beban APBN. Kritik di media sosial menyoroti potensi pemborosan, dengan saran agar dana dialihkan untuk renovasi sekolah existing daripada membangun baru.

Kritik Konstruktif terhadap Program Sekolah Rakyat

Meskipun program ini mendapat sambutan positif sebagai inisiatif inovatif untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan—seperti dukungan dari Komisi X DPR RI dan postingan di X yang memuji komitmen Prabowo—ada beberapa kritik konstruktif yang muncul dari berbagai pihak, termasuk akademisi, tokoh masyarakat, media sosial, dan organisasi seperti Aliansi Ekonom Indonesia serta JPPI. Kritik-kritik ini bertujuan untuk memperkuat implementasi agar lebih inklusif dan berkelanjutan. Berikut adalah ringkasan utama berdasarkan diskusi terkini hingga 14 September 2025:

  1. Penamaan "Sekolah Rakyat" yang Berpotensi Diskriminatif: Beberapa pakar, seperti Dosen Manajemen Kebijakan Publik UGM Subarsono, mengkritik istilah "Sekolah Rakyat" karena bisa menciptakan dualisme dengan sekolah umum, berpotensi memicu stigma atau diskriminasi terhadap siswa dari keluarga miskin. Selain itu, tokoh seperti Arief Poyuono (mantan Wakil Ketua Gerindra) menyebutnya bernuansa kolonial ala "sekolah inlander" era Belanda, yang memisahkan kelas sosial. Saran konstruktif: Pertimbangkan penamaan netral seperti "Sekolah Unggulan" atau "Sekolah Inpres" untuk menghindari persepsi pembedaan, sambil mempertahankan semangat pemerataan.
  2. Keamanan dan Pengawasan Fasilitas: Di media sosial X, ada kekhawatiran tentang keamanan bangunan baru, seperti risiko pencurian atau kerusakan jika tidak ada pengawasan ketat, terutama di lokasi terpencil. Beberapa postingan juga menyoroti potensi "bancakan" anggaran karena kurangnya transparansi. Saran konstruktif: Integrasikan sistem pengawasan berbasis teknologi (CCTV dan patroli rutin) serta pelatihan keamanan bagi staf sekolah sejak tahap awal, untuk memastikan fasilitas tetap aman dan optimal.
  3. Kualitas dan Ketersediaan Tenaga Pengajar: Beberapa diskusi menyoroti tantangan merekrut guru berkualitas di daerah tertinggal, yang bisa memengaruhi standar pendidikan, terutama dengan kurikulum yang masih campur aduk dan pelibatan TNI yang berpotensi menimbulkan stigma militerisasi. Saran konstruktif: Bangun program pelatihan guru khusus untuk Sekolah Rakyat, bekerja sama dengan universitas, dan prioritaskan insentif finansial bagi pengajar di desil 1-2 untuk menjaga motivasi dan retensi.
  4. Skalabilitas dan Dampak Jangka Panjang: Dengan target ambisius 500 sekolah dan anggaran ratusan triliun rupiah, ada kekhawatiran tentang keberlanjutan anggaran di tengah prioritas nasional lain, serta persiapan yang terkesan gegabah tanpa kajian mendalam—seperti kasus keracunan makanan terkait program MBG yang menunjukkan lemahnya akuntabilitas. Kritik dari BBC dan JPPI menyebut potensi pemborosan yang bisa dialihkan ke perbaikan sekolah existing atau kesejahteraan guru. Saran konstruktif: Lakukan evaluasi tahunan independen untuk mengukur dampak (misalnya, tingkat kelulusan dan penyerapan kerja lulusan), serta libatkan swasta atau CSR untuk pendanaan tambahan guna mengurangi beban APBN.

Kritik-kritik ini tidak dimaksudkan untuk meragukan niat baik program, melainkan untuk menyempurnakannya agar benar-benar inklusif dan berdampak luas. Pemerintah, melalui Menteri Sosial Gus Ipul, telah merespons positif dengan menekankan percepatan implementasi sambil menyesuaikan masukan. Dengan penanganan yang tepat, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi model pendidikan nasional yang lebih adil.