Legislator Main Proyek Dapur MBG: Rakyat Lagi yang Jadi Korban

 


Legislator Main Proyek Dapur MBG: Rakyat Lagi yang Jadi Korban

Ketika jutaan rakyat menanti janji makan bergizi gratis (MBG) sebagai penyambung hidup, muncul kabar tak sedap: anggota DPRD ikut terlibat dalam kepemilikan dan pengelolaan dapur MBG. Dalihnya sederhana: tidak ada larangan hukum. Tapi justru di situlah letak masalah besar negeri ini—semua diukur hanya dengan hukum, bukan dengan etika publik.

Bagaimana mungkin pengawas berubah jadi eksekutor? Bagaimana rakyat percaya pada parlemen jika mereka ikut rebutan proyek yang seharusnya diawasi? Inilah wajah konflik kepentingan yang telanjang: ketika fungsi kontrol dan fungsi eksekusi melebur dalam satu tangan, rakyat kehilangan pelindung.

Program MBG adalah janji besar Presiden. Anggarannya raksasa—ratusan triliun rupiah, setara dengan urat nadi bangsa. Tapi sebelum program ini benar-benar menyehatkan rakyat, ia sudah dirusak oleh syahwat politik dan kerakusan elit. Apa jadinya bila dapur rakyat disulap jadi ladang basah legislator?

Lucius Karus dari Formappi sudah mengingatkan: dalih “tidak ada larangan hukum” tak bisa jadi alasan. Demokrasi sehat berdiri di atas integritas, bukan pada celah aturan yang bisa dimanipulasi. Legislator yang terlibat langsung dalam proyek MBG sama saja merampas hak rakyat untuk mendapatkan pengawasan yang jujur.

Kepala BGN boleh bilang mitra dapur terbuka untuk semua pihak. Tapi “semua pihak” bukan berarti pejabat publik bebas ikut cawe-cawe proyek. Justru harus ada batas jelas: wakil rakyat dilarang menjadi pemain proyek rakyat. Kalau tidak, MBG yang lahir sebagai program pro-keadilan akan mati muda sebagai proyek pro-elit.

Hari ini, rakyat berhak marah. Rakyat berhak menuntut DPR/DPRD untuk mundur dari keterlibatan bisnis MBG. Kalau tidak, kita hanya akan melihat wajah lama politik Indonesia: parlemen jadi pasar proyek, bukan penjaga amanah.

Rakyat butuh dapur gizi, bukan dapur korupsi.