Editorial: Tantangan Berat Program Makan Bergizi Gratis







Editorial: Tantangan Berat Program Makan Bergizi Gratis

Eksekusi program Makan Bergizi Gratis (MBG), janji kampanye utama Presiden Prabowo Subianto, ternyata jauh dari mulus. Dari masalah alokasi anggaran hingga teknis pelaksanaan, program ini terus menuai sorotan publik.

Soal anggaran, MBG dituding menggerus hampir separuh pos pendidikan 2026. Angka 44,2% memang kemudian diluruskan Menkeu Sri Mulyani sebelum lengser: total anggaran MBG pada RAPBN 2026 sebesar Rp335 triliun, dengan Rp223,6 triliun dikategorikan sebagai anggaran pendidikan—artinya hanya 29,5% dari total anggaran pendidikan, bukan 44,2%. Sisanya berasal dari pos kesehatan sebesar Rp24,7 triliun. Meski begitu, tetap saja MBG adalah program dengan porsi jumbo yang berisiko menekan sektor lain.

Lebih runyam lagi, masalah bukan hanya di angka. Pelaksanaan di lapangan tersandung praktik mark-up harga oleh mitra pelaksana, bahkan sempat muncul kasus keracunan massal. Situasi ini bukan sekadar soal manajemen, tapi juga menyangkut kredibilitas program yang digadang sebagai wajah baru keadilan sosial.

Presiden Prabowo sendiri sudah mengakui banyaknya masalah: mulai dari pembangunan dapur, pengelolaan rantai pasok, hingga pelatihan manajer lapangan. Namun, pengakuan ini sekaligus menegaskan bahwa fondasi MBG memang belum siap saat dipaksakan dijalankan.

Di titik ini, publik mulai bertanya: apakah MBG adalah solusi nyata untuk perbaikan gizi bangsa, atau justru proyek politik yang lebih sibuk menghabiskan anggaran ketimbang memberi manfaat nyata?

Program sebesar ini tidak boleh dibiarkan menjadi ajang coba-coba. Jika pemerintah serius, transparansi, pengawasan ketat, dan akuntabilitas mutlak diperlukan. Sebab, kegagalan MBG bukan hanya soal gizi anak bangsa, tapi juga bisa menjadi bumerang politik yang melemahkan legitimasi presiden di awal pemerintahannya.