🥵 Anak Sakit Harus Dikipasi Manual, Warga Gresik Tak Dapat Listrik Subsidi Bertahun-tahun!

 

Dikipasi pakai tangan, akibat listrik mahal

📰 Ironi di Gresik: Anak Luka Serius Butuh Kipas Angin, Orang Tua Terpaksa Pakai Kipas Tangan Gara-Gara Listrik Mahal

Gresik – Hidup di negara merdeka ternyata tak otomatis membuat warga merdeka dari tagihan listrik mahal. Inilah yang dialami 25 penghuni bedak di Kecamatan Manyar, Gresik.

GP (45) bersama EH (43) harus berjibaku merawat putrinya, A (17), yang mengalami luka kulit serius akibat dugaan salah penanganan medis. Sang putri terpaksa berbaring di kasur kayu selama berbulan-bulan dengan kaki terus diangin-anginkan agar tidak berair dan dihinggapi lalat. Namun, karena listrik subsidi tak kunjung mengalir, GP hanya bisa menggunakan kipas manual—bayangkan, di era serba digital, masih ada orang yang mengipas anaknya dengan tangan demi bertahan hidup.

“Kami sudah mengajukan pemasangan meteran listrik subsidi, tapi tidak dilayani. Akhirnya harus pakai listrik non-subsidi dengan tarif sangat mahal,” ujar GP sambil menjaga warung kopi, Rabu (10/9/2025).

Sebanyak 25 keluarga penghuni bedak—mulai pedagang warung makan, pengusaha besi tua, hingga penjual kopi—mengaku sudah lelah mengurus permohonan listrik subsidi. Upaya mediasi lewat camat bersama PLN pun kandas. Alasannya, PT Garam keberatan karena merasa masih punya SHGB di lahan tersebut. Ironisnya, menurut pendamping warga Abdullah Syafi’i, SHGB itu sudah habis sejak 2022.

“Padahal kebutuhan listrik adalah hak dasar masyarakat. Warga di sebelah, yang lahannya juga milik PT Garam, sudah dipasangi listrik subsidi. Kenapa di sini tidak?,” kata Abdullah.

Ia menegaskan, warga siap pindah jika lahan memang akan digunakan PT Garam. Tapi selama ini, lahan tersebut dibiarkan tidak produktif, sementara rakyat dipaksa membayar listrik mahal.

“Bayangkan, rakyat cuma minta listrik subsidi saja susah. Hidup layak dan nyaman rasanya jadi barang mewah. Negara seharusnya hadir untuk rakyat, bukan hanya untuk penguasa,” pungkas Abdullah.

Senada dengan pernyataan Abdullah, Gus Fik juga berkomentar :

“Kalau rakyat kecil masih harus mengipas anaknya dengan tangan karena listrik mahal, itu bukan sekadar ironi—itu adalah tanda kegagalan negara dalam menjamin hak dasar warganya. Listrik itu bukan barang mewah, tapi kebutuhan pokok. Jangan sampai negara lebih berpihak pada perusahaan yang punya izin mati, daripada pada rakyat yang masih hidup dan berjuang.”