Bos The Fed "Frustasi" dengan Inflasi, China Bikin Waswas!

In this photo provided by China's Xinhua News Agency, Chinese President and party leader Xi Jinping delivers a speech at a ceremony marking the centenary of the ruling Communist Party in Beijing, China, Thursday, July 1, 2021. China’s Communist Party is marking the 100th anniversary of its founding with speeches and grand displays intended to showcase economic progress and social stability to justify its iron grip on political power that it shows no intention of relaxing. (Li Xueren/Xinhua via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses bangkit dari keterpurukan sejak awal pekan, meski tidak dicapai dengan mudah. Obligasi Amerika Serikat (AS) atau yang disebut Treasury benar-benar memberikan masalah bagi pasar finansial Indonesia. IHSG memang sukses bangkit, tetapi rupiah masih tertekan, begitu juga dengan Surat Berharga Negara (SNB).

Tetapi pada perdagangan hari ini, Kamis (30/9), Treasury "berpihak" ke pasar finansial dalam negeri sehingga berpeluang kompak menguat. Selain Treasury, beberapa faktor yang mempengaruhi pasar hari ini, termasuk Jerome Powell yang "frustasi" melihat inflasi tinggi dan sektor manufaktur China yang bikin waswas pasar akan dibahas pada halaman 3 dan 4.

Kemarin, IHSG sempat merosot nyaris 0,5% di awal perdagangan, tetapi perlahan berhasil bangkit meski sempat bolak balik di zona merah pada sesi I. Memasuki sesi II, IHSG akhirnya nyaman di zona hijau, hingga membukukan penguatan 0,81% ke 6.162,554.

jkse

Sementara itu rupiah lagi-lagi tanpa perlawanan di hadapan dolar AS. Rupiah sempat melemah hingga 0,35% ke Rp 14.320/US$, tanpa pernah mencicipi zona hijau. Di akhir perdagangan pelemahan sukses dipangkas menjadi 0,14% di Rp 14.290/US$.

Terus menanjaknya yield Treasury AS memberikan tenaga bagi dolar AS. Hingga perdagangan Selasa lalu, yield Treasury AS tenor 10 tahun kembali menanjak 5,55 basis poin ke 1.5461%. Dalam 4 hari terakhir total 18,57 basis poin dan saat ini berada di level tertinggi sejak 17 Juni lalu.

Selain itu, kenaikan yield Treasury tenor 10 tahun tersebut menjadi indikasi pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.

"Pasar perlahan tapi pasti melihat realita yield Treasury saat ini jauh lebih rendah dari fundamentalnya. Kebijakan The Fed sedang bergeser, para investor juga merubah posisi mereka, sekaligus, seperti yang cenderung kita lakukan," kata Kathy Jones, kepala strategi aset tetap di Schwab Center for Financial Research, sebagaimana dilansir CNBC International.

Kenaikan yield tersebut membuat harga SBN mayoritas turun. Hanya SBN tenor 3 tahun dan 25 tahun yang menguat, tercermin dari yield yang mengalami penurunan.

idr


Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya.

Yield Treasury masih terus menanjak meski ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, mengindikasikan tidak akan terburu-buru dalam menaikkan suku bunga.
Powell yang memberikan testimoni kemarin menyatakan perekonomian saat ini masih jauh dari target tenaga kerja maksimum.

"Pada pekan lalu saya mengatakan kami sudah mencapai target untuk memulai tapering. Saya perjelas lagi, dalam pandangan kami, masih jauh untuk mencapai target tenaga kerja maksimum," kata Powell di hadapan Kongres AS.

Artinya, The Fed memang akan melakukan tapering dalam waktu dekat, tetapi untuk menaikkan suku bunga masih menunggu hingga target tenaga kerja maksimum tercapai.

Bursa saham AS (Wall Street) bangkit pada perdagangan Rabu waktu setempat setelah laju penguatan yield Treasury terhenti. Meski demikian, sektor teknologi masih belum mampu lepas dari zona merah.

Indeks Dow Jones menguat 0,26% ke 34390,72, S&P 5000 naik 0,16% ke 4.359,46, sementara Nasdaq melemah 0,24% di 14.512,44.

Pada Selasa, indeks Nasdaq anjlok 2,8% menjadi 14.546,68 menjadi reli harian terburuk sejak Maret. Adapun S&P 500 terpelanting 2% dan Dow Jones Industrial Average kehilangan 569,4 poin, atau -1,63%. Indeks Dow Jones dan S&P ini terhitung anjlok 3% sepanjang September, sementara Nasdaq yang diisi saham sektor teknologi ambles hingga lebih dari 4,5%.

Yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar hari ini berfluktuasi kemarin, tetapi masih di atas level 1,5%. Kenaikan imbal hasil memukul kinerja saham teknologi karena membuat arus kas mereka di masa mendatang menyempit, sehingga menekan dividen.

Selain pergerekan yield Treasury, Investor juga memantau kemajuan penyelesaian pemasukan AS yang sudah tiris, dan harus diizinkan menaikkan batas utang jika tak ingin layanan publik terhenti (shutdown) karena tak ada sumber dana pembayaran gaji mereka.

Menteri Keuangan Janet Yellen mengingatkan tenggat akhir penaikan batas utang pemerintah AS adalah 18 Oktober. Jika tidak dicapai juga, dia mengingatkan bakal ada konsekuensi besar bagi perekonomian. Direktur Utama JPMorgan Chase Jamie Dimon menyebutkan pihaknya menyiapkan kemungkinan bahwa AS akan menyentuh batas utangnya.

Wall Street yang mulai bangkit tentunya memberikan sedikit hawa segar ke pasar Asia pada hari ini, apalagi kemarin IHSG mampu menguat saat bursa saham Asia lainnya merosot.

Meski demikian, pergerakan yield Treasury masih akan menjadi perhatian utama, jika koreksinya berlanjut maka akan berdampak positif ke pasar finansial, termasuk di dalam negeri. Kemarin yield Treasury turun 2,25 basis poin ke 1,5236%, setelah naik 4 hari beruntun dengan total 18,57 basis poin.

Tetapi jika yield tersebut kembali naik, maka patut waspada.


Pergerakan yield Treasury menjadi indikasi proyeksi pasar terhadap suku bunga The Fed. Ketika yield Treasury naik, maka pasar melihat bank sentral AS ini akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.

Inflasi yang tinggi di Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan membuat The Fed segera menaikkan suku bunga.

Ketua The Fed, Jerome Powell, bahkan mengatakan "frustasi" melihat tingginya inflasi yang disebabkan oleh gangguan pasokan (supply).

"Gangguan rantai pasokan yang tak kunjung membaik membuat frustasi, bahkan faktanya malah sedikit memburuk. Kami melihat hal ini akan berlanjut tahun depan, dan menahan inflasi tinggi lebih lama dari yang kami perkirakan," kata Powell.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang dijadikan acuan The Fed saat ini sebesar 3,6%, tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Meski demikian Powell melihat tekanan inflasi akan berkurang ketika gangguan supply perlahan bisa diatasi, dan optimis tahun depan akan ada pertumbuhan ekonomi yang kuat.

Pelaku pasar mulai mencerna kembali peluang kenaikan suku bunga di AS pada tahun depan, meski inflasi tinggi, salah satu indikator lainnya yakni pasar tenaga kerja dikatakan masih belum cukup untuk menaikkan suku bunga.

Dalam Fed dot plot yang dirilis pekan lalu memang suku bunga diproyeksikan naik pada tahun depan.

Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.

Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota Federal Open Market Committee (FOMC) kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.

Tetapi Powell sang ketua terlihat pro kenaikan suku bunga di 2023 setelah menyatakan perekonomian masih jauh untuk mencapai pasar tenaga kerja maksimum.

Selain itu Selain Powell beberapa elit The Fed juga bersikap dovish di pekan ini. Presiden The Fed wilayah Chicago Charles Evans mengatakan suku bunga baru akan dinaikkan pada akhir 2023.

Ia melihat, inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat sementara, dan baru akan cukup tinggi dan stabil guna menjadi alasan untuk menaikkan suku bunga pada akhir 2023.
"Saya memasukkan proyeksi di waktu yang seharusnya.... Menaikkan suku bunga di 2023," kata Evans merujuk pada Fed dot plot yang dirilis pada Kamis lalu, sebagaimana dikutip Reuters Senin (27/9).

Sementara itu Gubernur The Fed Lael Brainard mempertegas jika tapering tidak ada kaitannya dengan suku bunga. Artinya saat tapering resmi selesai, diperkirakan pada pertengahan tahun depan, bukan berarti suku bunga akan segera dinaikkan.

"Panduan ke depan untuk target tenaga kerja maksimum dan rata-rata inflasi jauh lebih tinggi agar bisa menaikkan suku bunga, ketimbang melakukan tapering. Saya akan menekankan, waktu kenaikan suku bunga tidak bisa dikaitkan dengan pengumuman tapering," kata Brainard.

Dengan banyaknya pejabat The Fed yang dovish, maka laju kenaikan yield Treasury mengendur, dan berdampak positif bagi pasar finansial global, termasuk Indonesia.


Rilis data aktivitas manufaktur China akan menjadi perhatian hari ini. Maklum saja, pada bulan Agustus sektor manufaktur China nyaris mengalami kontraksi.

Aktivitas manufaktur dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) dengan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Pada bulan Agustus, PMI manufaktur China dilaporkan sebesar 50,1, sangat tipis dari kontraksi, dan menurun dari bulan sebelumnya 50,4. PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 5 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.

Jika tren penurunan berlanjut dan akhirnya menunjukkan kontraksi, maka akan berdampak negatif ke pasar finansial global. Kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.

Sebelumnya, Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.

"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.

Presiden China, XI Jinping pada September tahun lalu mengumumkan China akan mencapai puncak emisi karbon pada 2030 dan menjadi bebas karbon pada 2060.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Produksi industri dan penjualan ritel Jepang (pukul 6:50 WIB)
  • PMI manufaktur China (pukul 8:00 WIB)
  • PMI manufaktur China versi Caixin (pukul 8:45 WIB)
  • Transaksi berjalan Inggris (pukul 13:00 WIB)
  • Pidato Gubernur BoJ, Haruhiko Kuroda (tentative)
  • Inflasi Jerman (tentative)
  • Inflasi Prancis (pukul 13:45 WIB)
  • Inflasi Italia (pukul 16:00 WIB)
  • PDB Final dan klaim tunjangan pengangguran AS (pukul 19:30 WB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


CNBCindonesia.com

Baca juga

Posting Komentar