Sebenarnya, Identitas Orang Indonesia Itu seperti Apa?


Baru saja saya terpaku melihat podcast endgame Gita Wirjawan dan Dian Sastro episode Jangan Patah Hati Lagi sama Indonesia, yang baru beberapa hari tayang. Singkat kata, mereka mempertanyakan, seperti apa sih identitas orang Indonesia? Seperti orang Jepang yang dikenal disiplin, orang India pintar, orang Cina gigih, nah, apa karakteristik orang Indonesia?
Iya juga ya, saya jadi ikutan mikir. Dan rasanya ini memang perlu dipikirkan oleh setiap manusia Indonesia. Nggak usah dipikirkan bersama-sama, sendiri-sendiri aja, nanti kebanyakan biaya kalau pakai embel-embel bersama. Minimal nasi bungkus.
Sambil nyupir, obrolan mbak Dian yang ayu dan Pak Gita (mau bilang ganteng kok gimana yaaa) terbawa serta menyusuri highway Sultan Qaboos, Muscat, ibukota Oman, tempat saya tinggal selama hampir 14 tahun ini. Saya mencoba mengingat-ingat karakter yang menonjol dari orang Indonesia secara umum, baik yang di dalam maupun luar negri.

Lalu tiba-tiba mata saya tertuju pada papan nama jalan yang ukurannya besar bertuliskan : Azaiba. Ini nama tempat yang seandainya berada di Indonesia bisa menjadi perbincangan panjang tiada akhir. Entah apa sebabnya, tulisan Azaiba versi Latin berbeda-beda di beberapa papan penunjuk jalan : Ataiba, Athaiba, Udaiba, Uzaibah. Bahkan ibukota Oman : Muscat, kadang ditulis dengan Masqat atau Maskat, beda-beda nulisnya. Andai orang Indonesia yang strict dengan transliterasi ini berkunjung ke Oman, sungguh malang nasibnya . Bayangkan betapa lelah jiwa raga dan alam pikirnya.
Sudah beberapa kali kan, jagat medsos diramaikan dengan perdebatan cara penulisan kata dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Ambil saja contoh soal cara menulis in syaa Allah. Sesuai dengan panduan resmi Qur’an terbitan Departemen Agama, maka mereka yang menulis dengan in shaa Allah, dianggap salah. Huruf syaa juga dibaca panjang, maka yang menulis in sya Allah juga salah. Selain itu nun terpisah dengan syin jadi tidak boleh menulis insyaa Allah. Nah, lucunya, di KBBI tertulis insyaallah. Hahaha.

Jika dijelaskan dengan gamblang, dengan kata-kata yang manis, tentu tidak akan menjadi masalah, tetapi kemudian ada yang menambah dengan kata-kata ancaman semacam: ini kesalahan fatal, belajar woy,jangan asal nulis, kaum jahiliyah. Akhirnya yang tadinya salah dan mau belajar pun keluar sungutnya. Membalas dengan gaspol, jangan sok tau woy, pake bahasa persatuan aja deh, nggak usah ikut bahasa kadrun. Haiyaaa, saling bersahut-sahutan dari grup ke grup, dari twitter ke Facebook lanjut ke platform lainnya. Panasss.
Apakah ini karakter asli orang Indonesia? Tukang ribut?
Sering kali perdebatan panas dimulai dari sebuah wacana sederhana, tetapi kemudian ditanggapi dengan gegap gempita. Sayangnya, karena kurangnya koleksi kata-kata yang bisa mewakili perasaan, ditambah dengan wacana pengetahuan yang terbatas pada buku sekolah, dan drama di layar hape, perdebatan non esensial pun seperti tak berkesudahan.
Bahkan sesuatu yang berasal dari dunia khayal semacam film pun, bisa menjadi sumber pertikaian. Lihat saja film Tilik dengan tokoh sentral Bu Tedjo. Kehadirannya yang mengisi kesepian hati di kala pandemi, viral dalam waktu yang tak berapa lama setelah tayang di YouTube pada 2020. Tilik menjadi pembicaraan seluruh negeri, bahkan hingga kami di luar negri. Film yang memotret kehidupan masyarakat Bantul pada saat menengok Bu Lurah yang sedang sakit ini dikupas tuntas, dibedah belah sangat rinci teliti.

Film ini bukanlah film dakwah, dokumenter, atau film bermuatan pengetahuan. Mestinya dikategorikan sebagai tontonan yang menghibur. Jadi tidak selayaknya disikapi sebagai tuntunan. Boleh salah, boleh beda, boleh tidak mengandung pesan moral tertentu. Sah saja jika apa yang dimaksudkan pembuat film berbeda dengan kenyataan yang ditangkap masyarakat.
Perempuan naik truk itu bisa dilihat setiap hari di Bantul sana, kadang bareng sama kambing atau ayam, ya biasa saja. Kalau ini dianggap pelecehan terhadap perempuan, yang dikritisi harusnya ya bukan filmnya. Bantu mereka di sana agar punya kendaraan yang aman dan nyaman. Nanti akan ada film yang memotret kehidupan ibu-ibu tilik dengan menggunakan kendaraan yang aman dan nyaman
Tapi, lihat betapa perdebatan tak berkesudahan ini bahkan diwacanakan oleh para pakar, semi pakar dan “pakar” yang sudah melanglang buana melintasi dunia pendidikan dan batas negara. Para pengamat sosial, insan perfilman, rameee membahas film ini. Kalau sebatas diskusi dengan bahasa yang santun dan enak dibaca dan didengar tentu ok saja, Tapi kalau sudah bernada menjelek-jelekkan, rasanya ini bukan karakter asli orang Indonesia.
Apakah ini karakter orang Indonesia? Suka menjelek-jelekkan?

***

Sebagai orang yang merantau hampir 14 tahun di Oman, saya punya pengalaman lain terkait dengan karakter orang Indonesia. Di sini, yang paling kuat saya rasakan adalah kuatnya solidaritas sesama warga Indonesia. Dan inilah karakter orang Indonesia yang paling menonjol dalam pengamatan saya: Suka menolong, ringan tangan, enthengan.
Mengajak orang membantu saudara setanah air, adalah salah satu yang paling mudah dilakukan di sini. Ini adalah karakter orang Indonesia yang lekat dalam pandangan saya selama 14 tahun terakhir. Sama persis dengan yang terlihat di masa kecil saya saat di Jogja, maupun ketika sudah menikah di Duri, Riau.
Pertama kalinya, saya mengajak teman-teman urunan rak buku untuk perpustakaan di Jawa Barat, 2013 silam. Dalam hitungan hari, bantuan mengalir deras, bahkan melebihi target, akhirnya selain rak, buku-buku baru pun terbeli dari patungan beberapa orang.

Selanjutnya setiap kali ada kebutuhan di daerah miskin, entah makanan, pengobatan gratis, pendidikan, pengadaan instalasi air, MCK, mushola, dan lain-lain, seringkali melampaui target. Hingga kita harus menyimpan dana untuk keperluan serupa di tempat lain. Komunitas donatur pun membesar dan menjangkau 34 provinsi di tanah air.
Saat awal pandemi, masker menghilang dari pasaran. Sudahlah pasokan terbatas karena kebutuhan yang melonjak naik, eeeh ada yang terlalu kreatif menciptakan lapangan kerja bagi dirinya: menimbun masker, lalu menjualnya dengan harga selangit. Padahal tenaga kesehatan sudah menjerit. Apa boleh buat, manusia berakal iblis ini memang selalu hadir di saat manusia sedang sulit.
Jauh dari tanah air, ekspatriat asal Indonesia di Muscat, Brunei, Abu Dhabi, dan yang sudah kembali ke Indonesia ikut pontang panting mencari masker, sarung tangan, dan hazmat yang bagai menghilang dari pandangan manusia. Sim salabim! Terkumpul bantuan masker dan kawan-kawan untuk 38 Puskesmas dan RS hingga ke Kalimantan dan Lombok sana. Jangan tanya kesibukan jempol ibu-ibu penggeraknya. Untung saja jempol ini tak bisa bicara, apalagi pasang status di Facebook. Bisa riya nanti, hahaha.

Kami tidak sendiri, ada banyak sekali orang Indonesia yang bergerak membantu saudaranya, dalam skala besar maupun kecil, seperti memberi makan tetangganya, meskipun untuk diri sendiri pun sulit. Mereka ini, tidak banyak tahu urusan negara apalagi UU Cipta Kerja. Mereka tidak peduli apakah negara hadir atau tidak hadir untuk mereka. Demi melihat tetangganya lapar, ya sudah, apa saja yang ada di rumah dibagi dua. Kecuali ya suami atau istrinya.
Dengan kualitas seperti ini, maka berita pertikaian tak henti-henti di medsos memang seperti wajah lain dari karakter manusia Indonesia. Apa saja bisa jadi bahan pertikaian. Padahal yang senang berdebat ini sebagian juga yang sangat suka membantu saudaranya di dunia nyata. Riil.
Apa kita hilangkan saja medsos dari bumi pertiwi? Supaya kita kembali pada jati diri bangsa yang suka menolong, tanpa embel-embel tukang ribut?


#GresikBaik
#infogresik
#Gusfik

Baca juga

Posting Komentar