Solusi Ujaran Kebencian, Hoax Dan Fitnah Dalam Pilkada

isyarat wahyu keprabon


Ujaran kebencian menjadi salah satu masalah yang sering muncul dalam praktik media hari ini. Apakah sesungguhnya definisi dan asal muasal istilah ujaran kebencian?

Ujaran kebencian (hate speech) didefinisikan sebagai ujaran, tulisan, tindakan, atau pertunjukan yang  ditujukan untuk menghasut kekerasan atau prasangka terhadap seseorang atas dasar karakteristik kelompok tertentu yang dianggap ia wakili, seperti kelompok ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama, dan lain-lain.

Definisi legal dari ujaran kebencian sebenarnya bervariasi di antara berbagai negara. Namun, kita dapat menelaah jejak upaya konsolidasi makna ujaran kebencian dalam beberapa perjanjian internasional.  Salah satunya adalah perjanjian multilateral tentang hak-hak sipil dan politis individu, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang diterapkan oleh Majelis Umum PBB sejak 1976. Termasuk di antara 169 negara yang terlibat dalam perjanjian ini adalah Indonesia, yang telah meratifikasi perjanjian ini pada 23 Februari 2006.

Perjanjian ini dipandang sebagai salah satu “kutukan terkeras terhadap ujaran kebencian”, meski ia tidak pernah secara khusus menggunakan istilah tersebut. Dalam ICCPR, ujaran kebencian dibahas dalam Artikel 19 dan 20:

 Artikel 19:

  • Setiap orang berhak memiliki opini tanpa diganggu.
  • Setiap orang memiliki hak kebebasan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan pemikiran dalam segala jenis, dalam segala batasan, baik secara oral, dalam bentuk tulisan atau cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media apapun yang dipilih.
  • Penggunaan hak dalam paragraf 2 artikel ini membawa tugas dan kewajiban khusus. Ia dapat dikenakan pembatasan tertentu, namun pembatasan ini harus didasari hukum dan dianggap perlu:
  • Untuk melindungi hak dan reputasi orang lain;
  • Untuk melidungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan publik dan moral.

Artikel 20:

  • Segala propaganda perang dilarang secara hukum.
  • Segala jenis advokasi terhadap kebencian yang berlandaskan kebangsaan, ras, atau agama yang menghasut diskriminasi, kebencian, atau kekerasan dilarang secara hukum.
  • Dari kedua artikel tersebut, terlihat bahwa konsep ujaran kebencian memiliki ikatan erat dengan konsep kebebasan berbicara. Artinya, untuk memahami yang satu, kita perlu juga memahami yang lainnya.


Kebebasan Berbicara dan Batas-Batasnya

Sejak era pencerahan, kebebasan berbicara dianggap penting dalam demokrasi. Demi sebuah sistem pemerintahan dimana rakyat memerintah diri mereka sendiri, rakyat harus terinformasi dengan baik. Maka, arus informasi dan pemikiran tidak boleh dikekang oleh kekuasaan. Jika kekuasaan menentukan apa yang boleh dibicarakan dan apa yang tidak, tirani akan lahir.

Apakah ini berarti bahwa kebebasan berbicara tidak memiliki batas?

Dalam On Liberty (1859), John Stuart Mill berargumen bahwa diskusi dan argumen apapun harus diberi kebebasan dan didorong hingga batas-batas nalar logika, bukan batas-batas emosional atau moral. Suatu argumen tidak boleh dihentikan hanya karena ia menyinggung atau kontroversial selama ia mungkin mengandung kebenaran. Namun, Mill juga memperkenalkan “prinsip kerusakan” (harm principle), sebuah bentuk pembatasan atas kebebasan berbicara yang berbunyi: “satu-satunya saat dimana kekuasaan boleh digunakan untuk menekan suatu individu, adalah untuk mencegah kerusakan pada individu-individu lain.”

Prinsip kerusakan inilah yang menjadi dasar logika dari Artikel 19 & 20 ICCPR. Diskusi rasional tanpa kekangan memang menjadi tulang punggung demokrasi, namun ketika ujaran tertentu ternyata dianggap menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat, ia tidak lagi perlu dilindungi. Hak berbicara juga berhenti berlaku ketika ia melanggar hak dan reputasi orang lain tanpa justifikasi, yang diwujudkan dalam konsep pencemaran nama baik. Contoh nyatanya: jika saya mengucapkan fitnah atau perkataan yang merusak reputasi Anda tanpa dasar yang kuat, saya dapat diserang dengan pasal pencemaran nama baik.

Namun ujaran kebencian adalah istilah yang lebih khusus lagi: jika saya mengucapkan hasutan kekerasan atau diskriminasi atas kelompok tertentu, atau mengujarkan serangan terhadap seseorang atas dasar identitas kelompok, maka saya dapat dikatakan melakukan ujaran kebencian.

Konsep ujaran kebencian dikembangkan dengan latar gelombang semangat anti-diskriminasi dan gerakan hak sipil yang menyapu Eropa dan Amerika Serikat sejak tahun 1920an hingga 1990an. Kesadaran dan perubahan pandangan ini berjalan secara perlahan; banyak negara Barat (Eropa Barat dan Amerika Serikat) memandang kebebasan berbicara sebagai sesuatu yang sakral, dan segala upaya regulasi atasnya dipandang dengan penuh kecurigaan sebagai upaya tirani. Meskipun berbagai peristiwa sejarah, seperti Holocaust, kekerasan rasial dan gerakan Hak Sipil di Amerika, serta globalisasi secara umum perlahan mendorong mereka untuk menyikapi ujaran kebencian secara lebih serius.


Regulasi atas ujaran kebencian kini telah disepakati oleh mayoritas negara, namun mereka menerapkannya dengan kadar yang berbeda-beda. Dalam menjaga ketertiban umum, negara-negara Demokrasi Liberal Eropa cenderung tidak ragu dalam membatasi kebebasan berbicara. Jerman, setelah Perang Dunia Kedua, segera menerapkan regulasi yang cukup keras terkait diskriminasi rasial. Sebagian besar regulasi itu berbentuk pelarangan terhadap simbol dan retorika Nazi sebagi trauma Holocaust.Tidak lama setelahnya, pada tahun 1960, parlemen Jerman secara mutlak menyetujui larangan atas ujaran yang menghasut kebencian, memprovokasi kekerasan, menghina, mengolok, atau memfitnah ‘bagian dari populasi’ yang dapat merusak kedamaian publik. Luka sejarah yang cukup unik ini dapat terlihat dari sebuah aturan yang cukup kontroversial: larangan menyangkal Holocaust yang berlaku di Jerman, Austria, Perancis, dan beberapa negara Eropa lain.


Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat. Amerika relatif lebih mengimani kebebasan berbicara dalam bentuk mutlak dibandingkan kebanyakan negara Eropa. Regulasi mereka terkait ujaran kebencian relatif longgar, meskipun bukannya tidak ada. Salah satunya adalah doktrin fighting words yang dirumus oleh Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1942, yaitu “kata-kata yang pengucapannya sendiri ditujukan untuk merusak perdamaian secara langsung. Ujaran yang tidak esensial dalam penyampaian pemikiran apapun, dan memiliki nilai sosial dan kebenaran yang sangat kecil sehingga segala keuntungan yang dapat ia timbulkan tidak sebanding dengan dampak buruk bagi kepentingan sosial berupa ketertiban dan moralitas.”


Lebih jauh lagi dalam putusan Brandenburg v. Ohio di tahun 1969, prinsip hasutan kekerasan dipersempit sebagai ujaran yang ‘dapat secara langsung menyebabkan pelanggaran hukum’. Prinsip tersebut memastikan bahwa hanya tindakan-lah yang dicegah dan dapat disikapi secara hukum. Bahkan di tahun 1978, Mahkamah Agung mengijinkan sebuah parade Neo-Nazi dilakukan di sebuah kota dengan populasi 50% Yahudi, meskipun parade tersebut akhirnya dibatalkan. Belakangan, pemerintahan kota Charlottesville sempat mengizinkan parade rasis yang dilakukan di kota tersebut sebelum akhirnya menarik izin tersebut setelah kerusuhan terjadi. Namun, untuk mengimbangi perlindungan mereka atas kebebasan berbicara, Amerika Serikat memang memperkeras hukuman mereka atas tindak pelanggaran hukum yang didasari oleh motif rasial atau diskriminasi lainnya.


Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, konsep ujaran kebencian digunakan dalam UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”


Secara praktis, aturan ini berperan penting dalam menjaga kerukunan masyarakat Indonesia yang sangat plural. Seperti yang kita ketahui, batas antar-golongan, agama, dan kelompok etnis di Indonesia semakin menegang dalam beberapa tahun belakangan ini. Terlihat bahwa sejak Pilgub Jakarta 2017 lalu, penggunaan pasal ini memang semakin meningkat.

Sepanjang 2017 muncul berbagai kasus ujaran kebencian yang cukup menonjol, banyak diantaranya berujung pada hukuman pidana. Dalam banyak di antara kasus tersebut, pengadu atau “korban” ujaran kebencian ternyata merupakan tokoh penguasa, termasuk Presiden. Berbagai kasus seperti tuntutan terhadap Dandhy Laksono juga menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat atas konsep ujaran kebencian masih rendah. Masyarakat nampak belum bisa membedakan antara kritik atau ucapan yang menyakitkan dengan ujaran kebencian. Semua ini mungkin menimbulkan pertanyaan: apakah pada penerapannya prinsip ujaran kebencian justru menghambat, bukannya membantu, demokrasi? Apakah pembungkaman dan pemidanaan merupakan solusi yang tepat untuk “menjaga keharmonisan”?

Kita perlu paham bahwa konsep ujaran kebencian bukan hanya ada untuk mencegah konflik dan menjaga ketertiban umum. Ia didasari oleh semangat kemanusiaan yang percaya bahwa setiap manusia memiliki nilai yang sama, terlepas dari latar belakang golongan. 

Ia juga didasari oleh semangat demokrasi yang mendorong diskusi rasional, bukan argumen emosional yang didorong rasa benci dan prasangka.  Di saat yang sama kita perlu mengingat bahwa sebagai sebuah bentuk regulasi atas kebebasan berbicara, ia akan selalu membawa resiko penyalahgunaan: sebagai alat pembungkam kritik atau penghambat diskusi dan perkembangan pemikiran. 

"LAWAN HATE SPEECH DENGAN LOVE SPEECH". Gus Fik.



[]


Daftar Pustaka

Bleich, Erik. (2011). The Rise of Hate Speech and Hate Crime Laws in Liberal Democracies. Journal of Ethnic and Migration Studies, 27:6, 917 – 934.

Ghanea, Nazila. (Agustus, 2012). The Concept of Racist Hate Speech and its Evolution over time. Makalah dipresentasikan dalam diskusi tematik Racist Hate Speech sesi ke-81 dalam Komite Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Geneva.

Mill, J.S. (1991). On Liberty and Other Essays. Oxford: Oxford University Press.

Nockleby, John T. (2000), “Hate Speech” dalam Encyclopedia of the American Constitution, ed. Leonard W. Levy and Kenneth L. Karst, vol. 3. (2nd ed.), Detroit: Macmillan Reference US, pp. 1277–79.


Baca juga

Posting Komentar