Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (10)


“Bukti arkeologis keberadaan Kerajaan Lumajang adalah Situs Biting, yang terletak di Lumajang, Jawa Timur. Hanya saja, meski telah berhasil menyajikan data arkeologis yang melimpah dan diakui, namun tingkat validitas referensinya belum terlalu tinggi. Sejauh ini, naskah acuan terhadap situs ini barulah Prasasti Mula Marulung dan Kitab Negarakertagama. Meski demikian, kedua referensi dasar tersebut sesungguhnya memiliki pertalian dengan banyak naskah-naskah lain yang tersebar di Nusantara.”

Tentang eksistensi Kerajaan Lumajang, sejumlah sejarawan berpendapat bahwa mega-situs arkeologis yang terletak di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukadana, Kebupaten Lumajang, Jawa Timur, tidak lain merupakan sisa peninggalan Kerajaan Lumajang.

Penafsiran mutakhir tentang situs ini menunjukkan bahwa Ibu Kota Kerajaan Lamajang Tigang Juru tersebut memiliki luas mencapai 135 hektar. Di dalamnya terdiri dari enam blok/area yang meliputi: blok Keraton seluas 76,5 hektar, blok Jeding seluas 5 hektar, blok Biting seluas 10,5 hektar, blok Randu seluas 14,2 hektar, blok Salak seluas 16 hektar, dan blok Duren seluas 12,8 hektar.[1]

Menariknya, situs ini juga dikelilingi tiga sungai alami, yakni Binong, Ploso, dan Bodoyudo, dan satu sungai atau kanal buatan. Semua sungai yang mengelilingi Situs Biting ini bisa dijadikan jalur transportasi ke pantai Selatan atau Samudra Hindia.[2]


Dari sejumlah artefak yang ada di wilayah tersebut, ada satu hal yang sangat mengagumkan, yaitu bekas tembok benteng sepanjang 10 Km yang mengelilingi areal tersebut. Rata-rata  lebar benteng tersebut antara 4-6 meter, dengan tinggi berkisar antara 6-10 meter. Bila merujuk pada prasasti Mula Marulung yang bertahun 1255 M, bisa dikatakan situs ini adalah benteng yang tertua dan terpanjang yang ditemukan di Nusantara sejauh ini.

Dari sejumlah artefak yang ada di wilayah tersebut, ada satu hal yang sangat mengagumkan, yaitu bekas tembok benteng sepanjang 10 Km yang mengelilingi areal tersebut. Rata-rata  lebar benteng tersebut antara 4-6 meter, dengan tinggi berkisar antara 6-10 meter. Bila merujuk pada prasasti Mula Marulung yang bertahun 1255 M, bisa dikatakan situs ini adalah benteng yang tertua dan terpanjang yang ditemukan di Nusantara sejauh ini.


Menurut Agus Sunyoto, bila merujuk pada naskah Negarakertagama, kawasan ini dulunya disebut “Arnon”. Kemudian dalam perkembangannya, lafaz tersebut berubah menjadi Renon, yang dalam Bahasa Kawi: Renon berarti pasir/debu.  Sekarang, daerah ini bernama Kutorenon. Berdasarkan cerita rakyat, kata Kutorenon berasal dari istilah “Ketonon” atau terbakar. Ini tentu saja keliru dan secara siginifikan mengubah makna historis dari tempat tersebut.[3]

Bila merujuk pada kosa kata Jawa Kuno, Biting sendiri bermakna “Benteng”. Pemaknaan ini tampaknya memang sesuai dengan bukti arkeologis yang kini temuannya masih terus berkembang. Sisa reruntuhan benteng kuno sepanjang 10 km yang mengelilingi kawasan ini, seperti melegitimasi penafsiran akan istilah Biting tersebut.

Selama ratusan tahun, masyarakat setempat dan juga orang-orang dari berbagai wilayah sudah datang ke tempat ini untuk berziarah ke makam yang dipercayai sebagai makam Arya Wiraraja. Makam ini sudah dikeramatkan sejak lama dan diperlakukan layaknya makam seorang tokoh besar yang beragama Islam. Masyarakat setempat percaya bahwa sejumlah makam tak bernama di areal tersebut adalah makam-makam Adipati Lumajang. Dengan demikian, besar kemungkinan yang terbaring di situ tidak hanya jasad dari Arya Wiraraja dan putranya Arya Menak Koncar. Tapi juga terdapat makam Arya Wangbang Pinatih, Arya Wangbang Pinatih II, Arya Menak Sumendi, Arya Tepasan, beserta makam keturunannya seperti klan Arya Pinatih,  trah Adipati Sengguruh, dan trah Pangeran Ratu Cirebon. Ini juga sebabnya, ketiga keturunan trah tersebut masih terus berziarah ke tempat ini hingga sekarang.



Adapun situs Biting sebagai objek penelitian, pertama kali dikemukakan oleh orang bernama J. Magemen pada tahun 1861. Sayangnya, sebagian ada yang berpendapat bahwa J. Magemen adalah penemu situ tersebut, sehingga menimbulkan asumsi bahwa perilaku masyarakat terhadap makam-makam yang ada di atasnya bersifat ahistoris. Padahal J. Magemen hanyalah orang pertama yang melakukan pengkajian secara ilmiah pada situs arkeologis tersebut.[4]

Tahun 1920, seorang berkebangsaan Belanda bernama A. Muhlenfeld melakukan penggalian dan pendokumentasian Situs Biting. Tapi hasil penelitiannya tidak dipublikasikan secara besar-besaran. Ini sangat berbeda dengan hasil penemuan situs-situs Candi Hindu, Budha, reruntuhan Keraton, pintu gerbang, naskah kuno dan prasasti-prasti lain yang mengalami publikasi luar biasa. Akibatnya, Situs Biting pun hilang dari sentuhan penelitian dalam kurun waktu cukup lama.[5]

Penelitian intensif terhadap Situs Biting baru kembali dilakukan pada tahun 1982. Ketika itu, Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Lumajang melakukan proses rekontruksi dan penggalian kembali Situs Biting berdasar laporan dari Balai Arkeologi Yogyakarta. 

Kegiatan ini dilakukan secara serius dan didukung penuh oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Keseriusan dukungan ini dibuktikan dengan adanya 11 tahap proses penelitian dan penggalian yang dilakukan sejak 1982 hingga 1991. Dari penelitian tersebut, berhasil ditemukan sisa-sisa dinding benteng kuno dengan struktur bangunan dari bata dan temuan fragmen wadah gerabah, fragmen keramik, dan reruntuhan yang berasal dari abad 14-20 masehi, yang mana tersebar di atas area yang amat luas.[6]

Meski Situs Biting telah berhasil menyajikan data arkeologis yang melimpah dan diakui, namun tingkat validitas referensinya masih belum terlalu tinggi. Sejauh ini, naskah acuan terhadap situs ini barulah Prasasti Mula Marulung yang mengatakan bahwa Nararya Kirana, putri Naraya Siminingrat, dirajakan di Lamajang. Naskah acuan kedua, adalah Negarakertagama yang menyebut ibu kota Lumajang dengan Arnon/Renon, maupun sebutan Lamajang Tigang Juru.

Meski demikian, kedua referensi dasar tersebut sesungguhnya memiliki pertalian dengan banyak naskah-naskah lain yang tersebar di Nusantara. Dari rekonstruksi terhadap sejumlah naskah yang saling berkaitan itulah kemudian Agus Sunyoto, dan sejumlah sejarawan lainnya menarik asumsi bahwa Lumajang adalah Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dalam rangkaian tulisan singkat ini. Wallahu’alam bi sawab. (AL)


#GresikBaik
#infogresik
#Gusfik

Baca juga

Posting Komentar