Sri Mulyani-nya AS Desak Pajak Baru, Tak Bisa Ngemplang Lagi!


Jakarta, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menyerukan kepada para pemimpin negara G20 untuk lebih 'sadis' soal pajak. Eks Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) itu mendorong pemberlakuan pajak minimal buat perusahaan atau korporasi.

"Pajak minimal (minimum tax) akan mengakhiri praktik race to the bottom yang telah terjadi selama 30 tahun terakhir. Situasi akan lebih baik jika kita bekerja bersama dan saling mendukung," tegas Yellen, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Selama ini perusahaan membayar Pajak Penghasilan (PPh) atas laba. Di Indonesia, misalnya, tarif PPh Badan adalah 25%. Ada potongan menjadi 20% jika perusahaan menjual sebagian sahamnya kepada publik dalam level tertentu.

Tarif PPh Badan di setiap negara memang berbeda-beda. Masalahnya, ada negara yang sangat 'ramah' dengan menerapkan tarif pajak begitu rendah.
Contohnya Luxembourg. Negara kecil dengan luas tidak lebih dari 3.000 km persegi ini di atas kertas memang membebankan tarif PPh 24,94%.

Akan tetapi, perusahaan besar di dunia membuat perjanjian dengan pemerintah Luxembourg sehingga bisa mendapat tarif PPh rendah. Berdasarkan dokumen yang diperoleh Consortium of Investigative Journalists, ratusan perusahaan multinasional membuat kantor di Luxembourg dan berhasil mendapatkan tarif PPh kurang dari 1%. Beberapa nama yang muncul di dokumen itu adalah Amazon, Apple, AIG, FedEx, Heinz, IKEA, sampai Pepsi.

Ini tentu tidak adil buat negara-negara lain yang mencoba mencari pemasukan pajak untuk membiayai pembangunan. Tanpa setoran pajak yang mempuni, ketergantungan terhadap utang akan semakin besar. Anggaran negara menjadi tidak sehat, tidak sustainable.

Oleh karena itu, Yellen ingin agar ada tarif PPh minimal yang berlaku di seluruh negara, diawali dengan G20. Dengan begitu, persaingan mencari investor tidak perlu sampai ke ranah tarif pajak, yang mendatangkan risiko bagi keuangan negara.


Pemerintah Indonesia pun sebenarnya sempat mewacanakan minimum tax. Namun konteksnya agak berbeda.
Saat itu adalah 2016, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro masih menjabat sebagai Menteri Keuangan. Kini Bambang adalah Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) setelah sempat 'mampir' mengepalai Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas).

Saat itu, Bambang gusar karena cukup banyak perusahaan (terutama asing) yang telah bertahun-tahun mencari nafkah di Indonesia tetapi terus-terusan mengaku rugi. Akibatnya, perusahaan-perusahaan itu lolos dari kewajiban membayar pajak.
"Saya tahu ada PMA (Penanaman Modal Asing) tidak pernah bayar pajak selama masa hidup Indonesia. Ini tidak hanya 1-2 tahun tetapi 20 tahun, karena mereka sebut membukukan rugi.

"Hebatnya 20 tahun rugi nggak pernah lay off (memecat) karyawan, tetap melakukan ekspansi, semuanya jalan. Mereka bilang rugi tapi nggak pernah tutup," ungkap Bambang kala itu.

Oleh karena itu, KementerIan Keuangan mewacanakan pemberlakuan pajak minimal bagi perusahaan di Indonesia. Konsepnya diberi nama Alternative Minimum Tax (AMT). Namun wacana ini menguap dan belum pernah muncul lagi.

Konsep AMT Indonesia memang agak berbeda dengan apa yang diserukan Yellen, tetapi tujuannya sama yaitu menggenjot setoran pajak dan mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat (level of playing field). Perusahaan-perusahaan yang tidak membayar pajak (atau membayar dengan 'tarif promosi') tentu membuat mereka lebih kompetitif ketimbang perusahaan-perusahaan yang patuh.

Setidaknya ada dua kerugian dari aktivitas semacam ini. Pertama, penerimaan negara menjadi tidak optimal sehingga pembiayaan pembangunan akan mengandalkan utang. Kedua, perusahaan-perusahaan yang patuh tentu tergoda untuk menjadi 'pembangkang' karena ada keuntungan material dari penghindaran pajak.

Kalau semakin banyak perusahaan yang menjadi pengemplang pajak, maka bisa dibayangkan seperti apa compang-campingnya keuangan negara. Utang bakal kian membengkak.





#GresikBaik
#infogresik
#Gusfik

Baca juga

Posting Komentar